"aku sudah disuruh untuk menikah'' katanya ketika aku baru saja duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Suasana kafe sedang ramai.
"apa?'' aku memastikan apa yang kudengar ditengah hingar obrolan pengunjung lain.
"oke oke, tapi biarkan aku memesan makananku dulu'' kataku lagi ketika dia hanya menatapku jengkel.
...
''jadi, kamu akan menikah? ...umm muda?'' tanyaku ragu. Umurku baru 21, dia mungkin 24. Dan laki-laki menikah di umur 24, itu masuk nikah muda kan? Iya kan? Seseorang, tolong katakan iya..
"aku bilang aku sudah disuruh menikah, bukan mau menikah!'' hey, jangan membanting garpu, makan saja pisang kejumu dengan benar.
"waaaa... Bagus dong, coba aku yang disuruh menikah. Aku pasti langsung iya iya mau mau. Hahaha'' tawaku tidak mempedulikan kejengkelannya. Dia hanya bersedekap. Menatapku lama, kemudian bertanya dengan nada datar...
"memangnya menurutmu, menikah itu bagaimana?''
Aku terdiam. Membuka bibirku untuk menjawab tapi kemudian menutupnya kembali. Aku perlu berfikir, bukan? Sesuatu dalam kepalaku mengatakan menikah bukan soal kecil. Kata 'menikah' itu sendiri, memang berarti banyak, bukan? Tolong, saya mulai bingung.
Dia masih diam, menunggu ku berfikir. Sangat dia, tahu kapan harus berargumen, atau diam saja membiarkanku berfikir. Saat denganku.
Oke, mari kita urai keruwetan kata menikah di kepalaku. Dari sejak kecil, sepertinya orangtuaku sudah mengarahkan aku untuk sekolah tinggi, sarjana s1 setidaknya. Tunggu, jangan protes. Ini berhubungan. Dan benar, saya akan menamatkan sarjana tahun ini, akhir tahun. Umurku? Masih 21. Muda kan? Dalam pikiran ku, aku akan bekerja dan masih 'single' selama 3-4 tahun. Bersenang-senang untuk diri, menunjukkan bakti kepada orangtua dengan hasil kerjaku, dan menabung untuk menikah. Jadi, setidaknya saya akan menikah di umur 24 atau 25. Itu idealisme ku.
Tapi, aku tinggal di lingkungan teman-teman yang sudah melewati tahap yang kusebut di atas (lulus, kerja, dan menikah). Ketika aku masih sombong soal tugas-tugas kuliah, mereka sudah bisa pamer soal gaji pendapatan. Dan tentu saja, ketika aku baru masuk dunia kerja, mereka sudah merasa cukup menabung untuk pernikahan dari kerjanya mereka semasa aku masih kuliah. Dan ya, mereka semua sudah menikah. Iya, SEMUA. Teman-teman sepermaian ku dari bayi SEMUA sudah menikah.
Panjang, ya? Ehem..
Dari mereka aku bisa melihat. Iya, hanya melihat. Kami sudah tidak pernah lagi berkumpul ngrumpi atau 'girls talk'. Jadi ini kelihatannya, sekali lagi kelihatannya, ENAK, ASYIK, dan BIKIN IRI. Coba saja bila sore sore mereka duduk-duduk di luar, mengawasi si junior lagi bermain. Tertawa bersama, mungkin juga sambil saling bercerita kegiatan yang mereka lakukan seharian tadi, atau sekedar menggunjing tetangga. SERASI, aku bilang. Atau ketika mereka harus tiba-tiba segera pulang ketika acara undangan bahkan belum selesai HANYA karena suami ternyata pulang cepat. MANIS. Bersama-sama pergi ke swalayan untuk belanja bulanan, dan hal-hal manis lain yang dilakukan oleh sebuah keluarga...kecil.
Dan ya, ini hanya soal KELIHATANNYA enak. Coba aku juga sudah menikah.
Tapi, berkali-kali seseorang juga bilang bahwa hidup bukan hanya soal kelihatannya. Siapa yang tahu tentang yang tidak kelihatan dari yang kelihatannya enak tadi? Dan tentu hanya mereka yang mengalami yang tahu. Aku tidak akan mengusik.
Tapi, itu membuatku berpikir kembali. Ha, menikah bukan hanya soal hal- hal manis berdua bukan? Dan banyak sekali daftar dalam kepalaku untuk hal-hal yang bukan soal berdua. Entah ini hanya aku atau juga yang lain, -mungkin hanya aku, tentang aku tidak bisa membayangkan aku harus berakrab-akrab terhadap sebuah keluarga baru yang (mungkin) asing. Keluarga mertua. Oh no.. Aku pikir wajar kan, jika ternyata memang selalu ada jarak, batas tak kasat mata, antara kita si menantu dengan mertua. Setipis apapun itu. Dan parahnya, di umur 21 aku belum bisa mengatasi jarak itu. Untuk itu, aku bersyukur aku belum menikah. Beri aku waktu, sayang. Hehehe.
Juga...soal anak. Teman-teman ku tadi sudah menjadi ibu di umur 20-21. Dan tolooong.. Aku bisa bayangkan aku tidak bisa. Ya, yaahh.. Kalian paham bukan? Mengurus diri sendiri saja, seperti kerapian kamar, perawatan diri, jauh dari kata pantas, ini mau menikah muda dan punya anak. Hah. Kamu bercanda!
...
Ketika akhirnya aku hanya menjawab..
"bahwa menikah itu memang butuh nekat, tapi persiapan ALL OUT juga harus ada. Tapi aku masih belum ingin menikah. Bagiku, menikah tidak sesederhana aku sayang dia, dia sayang aku. Tapi...entah juga sih kalau pacar ngajak nikah sekarang dan restu didapat. Mungkin mau. Hahaha. Asal punya rumah sendiri, ngontrak dulu mungkin?''
Dia, yang sudah berteman lama denganku, hanya mendengus mendengar jawabanku.
Inuin, belum pengen menikah tahun depan.
"apa?'' aku memastikan apa yang kudengar ditengah hingar obrolan pengunjung lain.
"oke oke, tapi biarkan aku memesan makananku dulu'' kataku lagi ketika dia hanya menatapku jengkel.
...
''jadi, kamu akan menikah? ...umm muda?'' tanyaku ragu. Umurku baru 21, dia mungkin 24. Dan laki-laki menikah di umur 24, itu masuk nikah muda kan? Iya kan? Seseorang, tolong katakan iya..
"aku bilang aku sudah disuruh menikah, bukan mau menikah!'' hey, jangan membanting garpu, makan saja pisang kejumu dengan benar.
"waaaa... Bagus dong, coba aku yang disuruh menikah. Aku pasti langsung iya iya mau mau. Hahaha'' tawaku tidak mempedulikan kejengkelannya. Dia hanya bersedekap. Menatapku lama, kemudian bertanya dengan nada datar...
"memangnya menurutmu, menikah itu bagaimana?''
Aku terdiam. Membuka bibirku untuk menjawab tapi kemudian menutupnya kembali. Aku perlu berfikir, bukan? Sesuatu dalam kepalaku mengatakan menikah bukan soal kecil. Kata 'menikah' itu sendiri, memang berarti banyak, bukan? Tolong, saya mulai bingung.
Dia masih diam, menunggu ku berfikir. Sangat dia, tahu kapan harus berargumen, atau diam saja membiarkanku berfikir. Saat denganku.
Oke, mari kita urai keruwetan kata menikah di kepalaku. Dari sejak kecil, sepertinya orangtuaku sudah mengarahkan aku untuk sekolah tinggi, sarjana s1 setidaknya. Tunggu, jangan protes. Ini berhubungan. Dan benar, saya akan menamatkan sarjana tahun ini, akhir tahun. Umurku? Masih 21. Muda kan? Dalam pikiran ku, aku akan bekerja dan masih 'single' selama 3-4 tahun. Bersenang-senang untuk diri, menunjukkan bakti kepada orangtua dengan hasil kerjaku, dan menabung untuk menikah. Jadi, setidaknya saya akan menikah di umur 24 atau 25. Itu idealisme ku.
Tapi, aku tinggal di lingkungan teman-teman yang sudah melewati tahap yang kusebut di atas (lulus, kerja, dan menikah). Ketika aku masih sombong soal tugas-tugas kuliah, mereka sudah bisa pamer soal gaji pendapatan. Dan tentu saja, ketika aku baru masuk dunia kerja, mereka sudah merasa cukup menabung untuk pernikahan dari kerjanya mereka semasa aku masih kuliah. Dan ya, mereka semua sudah menikah. Iya, SEMUA. Teman-teman sepermaian ku dari bayi SEMUA sudah menikah.
Panjang, ya? Ehem..
Dari mereka aku bisa melihat. Iya, hanya melihat. Kami sudah tidak pernah lagi berkumpul ngrumpi atau 'girls talk'. Jadi ini kelihatannya, sekali lagi kelihatannya, ENAK, ASYIK, dan BIKIN IRI. Coba saja bila sore sore mereka duduk-duduk di luar, mengawasi si junior lagi bermain. Tertawa bersama, mungkin juga sambil saling bercerita kegiatan yang mereka lakukan seharian tadi, atau sekedar menggunjing tetangga. SERASI, aku bilang. Atau ketika mereka harus tiba-tiba segera pulang ketika acara undangan bahkan belum selesai HANYA karena suami ternyata pulang cepat. MANIS. Bersama-sama pergi ke swalayan untuk belanja bulanan, dan hal-hal manis lain yang dilakukan oleh sebuah keluarga...kecil.
Dan ya, ini hanya soal KELIHATANNYA enak. Coba aku juga sudah menikah.
Tapi, berkali-kali seseorang juga bilang bahwa hidup bukan hanya soal kelihatannya. Siapa yang tahu tentang yang tidak kelihatan dari yang kelihatannya enak tadi? Dan tentu hanya mereka yang mengalami yang tahu. Aku tidak akan mengusik.
Tapi, itu membuatku berpikir kembali. Ha, menikah bukan hanya soal hal- hal manis berdua bukan? Dan banyak sekali daftar dalam kepalaku untuk hal-hal yang bukan soal berdua. Entah ini hanya aku atau juga yang lain, -mungkin hanya aku, tentang aku tidak bisa membayangkan aku harus berakrab-akrab terhadap sebuah keluarga baru yang (mungkin) asing. Keluarga mertua. Oh no.. Aku pikir wajar kan, jika ternyata memang selalu ada jarak, batas tak kasat mata, antara kita si menantu dengan mertua. Setipis apapun itu. Dan parahnya, di umur 21 aku belum bisa mengatasi jarak itu. Untuk itu, aku bersyukur aku belum menikah. Beri aku waktu, sayang. Hehehe.
Juga...soal anak. Teman-teman ku tadi sudah menjadi ibu di umur 20-21. Dan tolooong.. Aku bisa bayangkan aku tidak bisa. Ya, yaahh.. Kalian paham bukan? Mengurus diri sendiri saja, seperti kerapian kamar, perawatan diri, jauh dari kata pantas, ini mau menikah muda dan punya anak. Hah. Kamu bercanda!
...
Ketika akhirnya aku hanya menjawab..
"bahwa menikah itu memang butuh nekat, tapi persiapan ALL OUT juga harus ada. Tapi aku masih belum ingin menikah. Bagiku, menikah tidak sesederhana aku sayang dia, dia sayang aku. Tapi...entah juga sih kalau pacar ngajak nikah sekarang dan restu didapat. Mungkin mau. Hahaha. Asal punya rumah sendiri, ngontrak dulu mungkin?''
Dia, yang sudah berteman lama denganku, hanya mendengus mendengar jawabanku.
Inuin, belum pengen menikah tahun depan.
No comments:
Post a Comment